Andalan

Digitalisasi Pendidikan

Apakah digitalisasi pendidikan bermakna bahwa sekolah atau perkuliahan hanya diselenggarakan dengan Zoom, Gmeet dan atau MS Teams atau melalui Youtube? Sampai sejauh mana dunia pendidikan konvensional, baik pada tingkat Dasar, Menengah dan Tinggi dapat memanfaatkan digitalisasi dalam proses penyelenggaraan pendidikannya? Apakah dengan berakhirnya pandemi Covid 19, masa depan digitalisasi pendidikan juga akan berakhir?

Mari kita bahas isu tersebut satu per satu.

Pertama, digitalisasi pendidikan seharusnya bukan hanya bermakna menyelenggarakan proses belajar mengajar dengan berbagai fasilitas digital atau online. Digitalisasi pendidikan seharusnya berkaitan juga dengan pengembangan metode pembelajaran yang dapat mendorong siswa belajar mandiri. Hal ini berarti bahwa pembelajaran digital seyogyanya menjadi pelengkap dan bukan menggantikan proses belajar mengajar tatap muka. Apabila hal ini dijadikan acuan, maka Sekolah atau Kampus bisa menghasilkan lulusan berkualitas dan memiliki wawasan yang luas.

Hal ini dikarenakan siswa memiliki kesempatan untuk bereksplorasi secara mandiri dan bisa mendapatkan materi pembelajaran secara intensif. Proses belajar mengajar di kelas bertumpu pada diskusi, dan bukan hanya sekedar sharing atau transfer knowledge dari Guru/Dosen ke Siswa/Mahasiswa.

Dan, apabila terjadi situasi seperti saat sekarang yaitu kejadian bersifat di luar kendali semua pihak, maka mitigasi sudah tersedia. Dalam hal ini, bisa dikatakan Sekolah/Kampus hanya tinggal melakukan switch.

Penjelasan untuk pertanyaan pertama tersebut di atas menjadi pembuka untuk menjawab pertanyaan kedua, yaitu sampai sejauh mana pendidikan pada tingkat Dasar, Menengah dan tinggi dapat memanfaatkan atau bahkan memberdayakan digitalisasi dalam proses penyelenggaraan pendidikannya. Dalam hal ini, Sekolah atau Kampus haruslah menciptakan aplikasi pendukung proses pembelajarannya. Hal ini yang saya maksudkan bahwa digitalisasi menjadi pelengkap dan bukan pengganti. Aplikasi digital tersebut dapat berwujud seperti layaknya banyak aplikasi-aplikasi Edutech yang saat ini hadir untuk memberi alternatif layanan pendidikan bagi masyarakat. Aplikasi ini menjalankan fungsi sharing atau transfer knowledge untuk setiap mata pelajaran atau mata kuliah. Dengan menjalankan fungsi seperti itu, siswa dapat belajar sesuai dengan kecepatan mereka, dan bahkan sangat memungkinkan siswa untuk melihat atau mendengarkan video pembelajaran mata pelajaran atau mata kuliah tertentu secara berkelanjutan. Alhasil, siswa dapat lebih memahami karena dapat mengakses berulangkali.

Apabila Sekolah/Kampus melengkapi proses pembelajarannya dengan aplikasi seperti demikian, maka meskipun pandemi berakhir dan sekolah-sekolah kembali memulai pertemuan tatap muka, digitalisasi akan tetap berjalan. Hal ini dikarenakan aplikasi tersebut melengkapi dan memperkuat pertemuan tatap muka di kelas. Sekolah/Kampus dapat membuat syarat untuk mengakses aplikasi digital tersebut kepada seluruh siswa/mahasiswanya sebelum hadir di kelas. Hal ini dikarenakan, di kelas akan lebih banyak diskusi dan eksplorasi atas materi yang sudah dibahas di dalam video pembelajaran di aplikasi tersebut. Dan pada kesempatan inilah proses belajar mengajar menjadi lebih berkualitas dan tentu menyenangkan — siswa memiliki kesempatan untuk mengekplorasi materi, di sisi lain guru menjadi sparring partner bagi siswa.

Momentum perkembangan dan pertumbuhan penggunaan digitalisasi seperti sekarang ini, harus benar-benar dimanfaatkan oleh Sekolah dan Kampus, dengan fokus tidak hanya pada penyelenggaraan kelas online di berbagai media online meeting. Pemberdayaan digitalisasi untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan layanan telah diadopsi dengan baik dan berjalan efektif di dunia ritel. Dunia pendidikan pun bisa melakukan hal yang sama.

****

Masuk ke dimensi yang lebih tinggi

Perguruan Tinggi di Indonesia harus memasuki dimensi yang lebih tinggi yaitu bukan hanya sekedar institusi yang hanya menyebarkan ilmu pengetahuan (transfer knowledge), atau menghasilkan ilmu pengetahuan (creating knowledge), akan tetapi masuk pada dimensi yang lebih tinggi, yaitu menjadi institusi yang mengkapitalisasi ilmu pengetahuan (capitalizing knowledge). Tentu saja beberapa Perguruan Tinggi (Negeri khususnya) bisa jadi sudah sampai pada tahap ini, namun tidak sedikit yang masih berada pada tahap transfer knowledge. Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi gagasan yang kiranya dapat memberikan inspirasi kalangan Perguruan Tinggi dalam rangka memberikan kontribusi yang lebih besar lagi bagi masyarakat, serta secara spesifik memanfaatkan berbagai temuan studi yang diperoleh baik oleh dosen, maupun mahasiswa, pada seluruh jenjang: Sarjana, Magister dan Doktoral.

Secara spesifik, gagasan saya tampak pada gambar berikut.

Penjelasannya adalah sebagai berikut.

Perguruan Tinggi merupakan lembaga pendidikan tingkat lanjut yang mengemban tugas untuk menyiapkan generasi muda sebagai peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berguna dan produktif. Tugas tersebut merupakan tugas pertama dari tiga tugas utama perguruan tinggi yang dikenal dengan istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu (1) pendidikan dan pengajaran; (2) penelitian dan (3) pengabdian kepada masyarakat. Gagasan yang akan saya jelaskan dalam tulisan ini terutama terkait pada dharma pertama dan kedua. Dalam gambar tersebut, dharma pertama yaitu pendidikan dan pengajaran mewujud dalam apa yang saya sebut dengan transfer knowledge, merupakan dharma paling mendasar, dan sering dinyatakan merupakan core business Perguruan Tinggi. Seluruh Perguruan Tinggi wajib menyelenggarakan tugas ini, dan hampir seluruh energi serta upaya — termasuk investasi — difokuskan pada dharma ini, sampai dengan hari ini. Sejalan dengan kemajuan teknologi informasi yang kita kenal dengan Revolusi Industri 4.0 (bahkan sedang menuju 5.0), harus diakui bahwa tugas tersebut, saat ini sedikit demi sedikit mulai tergantikan oleh berbagai pengetahuan yang tersebar di dunia maya, baik yang berbentuk tulisan (file), maupun berbentuk video, atau bahkan voice yang saat ini populer dengan istilah podcast. Dengan demikian, pada masa sekarang, transfer knowledge tidak bisa dinyatakan sebagai tugas eksklusif Perguruan Tinggi, terutama jika berkaitan dengan penyebaran pengetahuan saja.

Selain itu, secara spesifik, sesuai dengan pasal 5 UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, salah satu tujuan pendidikan tinggi adalah dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Dalam gagasan saya, dharma ini saya sebut dengan creating knowledge, yang berarti bahwa berbagai penelitian yang dilakukan oleh dosen Perguruan Tinggi harus merupakan sebuah penciptaan ilmu pengetahuan, baik berupa konsep, metode, dan atau produk atau layanan nyata. Penciptaan ilmu pengetahuan ini seharusnya bukan hanya kegiatan penelitian (kadang-kadang juga dengan kegiatan dharma ketiga yaitu kegiatan abdimas) yang dilakukan oleh dosen saja, namun juga terintegrasi dengan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dalam penyusunan skripsi, thesis, dan atau disertasi. Selain itu, proses yang melalui kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat tersebut, seharusnya tidak berhenti hanya pada ujian sidang, dan atau publikasi di jurnal, atau prosiding. Temuan berupa konsep, metode, dan atau produk/layanan, yang dihasilkan harus dapat dikapitalisasi untuk memberikan manfaat bagi masyarakat. Saya yakin banyak karya penelitian — bahkan yang pada tingkat skripsi — memiliki potensi yang besar untuk membantu memecahkan masalah yang ada di masyarakat. Hal ini berkaitan dengan aspek ketiga dari gagasan saya, yaitu capitalizing the knowledge.

Kapitalisasi ilmu pengetahuan merupakan dimensi yang tinggi bagi Perguruan Tinggi, karena pada tataran ini, Perguruan Tinggi bukan hanya sekedar menyebarkan dan menghasilkan ilmu pengetahuan dalam berbagai temuan risetnya, namun juga mampu mengkapitalisasinya. Kapitalisasi ini bukan hanya dapat menggenerate pendapatan bagi Perguruan Tinggi, namun lebih daripada itu adalah sebagai bentuk nyata strategi implementasi misi Perguruan Tinggi dalam hal membantu memberikan solusi dan mengentaskan persoalan yang ada di masyarakat. Kongkritnya, proses kapitalisasi ini dapat dilembagakan melalui social enterprise (SE). Hal ini karena social enterprise merupakan konsep lembaga yang berorientasi sosial dengan strategi ekonomi yang diarahkan menggunakan keuntungannya untuk menciptakan perubahan dan memberikan manfaat bagi masyarakat (Immanuella, 2018). Mekanisme dan prosedur selanjutnya diatur dan dikembangkan di dalam sistem kerja dalam lembaga ini. Hal paling mendasar adalah pengaturan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Dosen dan mahasiswa yang memiliki karya dari temuan studi riset/penelitian yang kemudian dikembangkan dan dikapitalisasi haruslah yang menjadi pemegang HAKI-nya.

Melalui pengembangan dan pembentukan SE sebagai moda untuk meningkatkan nilai tambah dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan diharapkan bukan hanya diperoleh manfaat reputasi dan finansial bagi Perguruan Tinggi, namun terutama adalah untuk mengentaskan persoalan di masyarakat. Bentuk lain yang dapat digunakan selain dalam bentuk SE adalah dengan melakukan ekspose berbagai temuan riset/penelitian tersebut di dalam sebuah aplikasi yang memudahkan masyarakat maupun investor ikut berkontribusi dalam pengembangan temuan tersebut. ***

Toward the New Normal

Menegaskan dari tulisan saya sebelumnya, New Normal harus dipahami sebagai the way we run our business differently baik di sektor bisnis, pendidikan dan atau pemerintahan. Secara kongkritnya adalah WFH berkelanjutan. Dengan pemahaman seperti ini, maka orientasi pemerintah menyegerakan New Normal dengan alasan ekonomi, dapat tercapai, sambil tetap mengupayakan penurunan kurva Covid-19.

Canvas Pengembangan Bisnis

Sebuah aktivitas bisnis harus senantiasa mengalami pertumbuhan atau pengembangan. Pertumbuhan atau pengembangan sebuah aktivitas bisnis pada dasarnya harus direncanakan sejak awal oleh pelaku bisnis, agar aktivitas bisnis tersebut dapat tetap lestari (sustainable). Harus diakui, ada beberapa aktivitas bisnis lahir dari sebuah kebetulan atau momentum yang tepat, sehingga penerimaan di pasar pun baik. Misalnya, ketika beberapa tahun yang lalu, di Bandung sangat happening dengan bisnis kue artis, kripik pedas, dan atau brownies kukus. Semua aktivitas bisnis tersebut lahir pada momen yang tepat.

Namun, hanya mengandalkan momentum dan tidak berusaha memeliharanya, dapat mengakibatkan aktivitas bisnis tidak bertahan lama. Oleh karenanya, pelaku bisnis perlu mengantisipasi penurunan momentum atau tahap growth di product life cycle-nya secara lebih sistematis dan terukur. Bahkan, apabila memungkinkan, hal ini perlu dilakukan oleh pelaku bisnis tiga bulan sejak peluncuran perdana produknya dilakukan. Hal ini penting agar produk tidak perlu memasuki tahap decline.

Dalam rangka memberikan arahan dan orientasi strategi bagi pengembangan bisnis, maka saya mencoba mengembangkan Canvas Pengembangan Bisnis (Gambar Bagan) untuk membantu memetakan berbagai aspek terkait pengembangan bisnis yang perlu diantisipasi oleh perusahaan. Secara spesifik, fokus dari Canvas ini adalah identifikasi pengembangan bisnis berbasis pada inovasi yang dapat dilakukan oleh perusahaan, yang didasarkan pada analisis situasi yang dihadapi perusahaan baik secara makro maupun mikro. Gagasan inovasi yang dikembangkan dapat berupa inovasi produk, dan atau inovasi proses.

Sebagaimana Canvas yang umumnya digunakan dalam mengidentifikasi model bisnis (BMC – business model canvas) yang dipopulerkan oleh Osterwalder (2005), Canvas ini juga menggunakan 9 kotak identifikasi.

Penjelasan kesembilan kotak tersebut adalah sebagai berikut:

  1. SW (strength dan weakness) adalah kondisi internal perusahaan yang teridentifikasi melalui analisis value chain atau aspek-aspek fungsi bisnis (pemasaran, produksi, sumberdaya manusia dan keuangan). Kondisi ini dapat merupakan sebuah keadaan masalah/problem bagi perusahaan yang bersangkutan. Pengukuran dapat menggunakan IFE Matrix. Konsep tentang IFE Matrix dapat dilihat di sini: strategicmanagementinsight
  2. OT (opportunities dan threats) adalah kondisi eksternal perusahaan yangg teridentifikasi melalui analisis 5 Forces dan Pestel sehingga memberiinformasi tentang peluang atau ancaman. Pengukuran lebih spesifik bisa menggunakan EFE Matrix. Konsep tentang EFE Matrix dapat dilihat di sini: strategicmanagementinsight
  3. Leadership potency adalah aspek kepemimpinan perusahaan yang diharapkan dapat menavigasikan perubahan ke arah pengembangan; salah satunya adalah kemampuan membangun jejaring. Leadership potency menggunakan konsep Four Factor Theory of Leadership yang pertama kali dikembangkan oleh David Bowers and Stanley Seashore (1960).
  4. Solusi adalah konsep yang digagas dalam rangka pengembangan bisnis berdasarkan pemetaan SWOT matrix (SO, WO, ST, WT) 
  5. Inovasi merupakan perwujudan dari solusi yang digagas dan dirancang melalui inovasi produk ataupun inovasi proses. Gagasan inovasi diidentifikasi dengan menggunakan konsep Radar Inovasi (Fontana, 2008).
  6. Resources adalah identifikasi sumberdaya yang dibutuhkan untuk mewujudkan inovasi tersebut (ketersediaan orang, modal, fasilitas, termasuk jejaring). Dalam melakukan identifikasi Resources ini digunakan konsep VRIO (Barney, 1983).
  7. Cost structure adalah struktur biaya yang diperlukan dalam rangka pengembangan bisnis melalui inovasi yang dihasilkan.
  8. Revenue stream adalah tingkat pendapatan yang diperkirakan akan diperoleh perusahaan apabila inovasi diimplementasikan.
  9. Ukuran keberhasilan dinyatakan melalui tingkat keterserapan inovasi di pasar (untuk inovasi produk) dan di dalam organisasi (untuk inovasi proses).

Canvas ini telah diuji-cobakan dalam matakuliah Perencanaan dan Pengembangan Bisnis yang saya ampu di Program Sarjana Ilmu Administrasi Bisnis Unpar, pada semester Genap 2019/2020 yang lalu. Mahasiswa berhasil merumuskan rencana pengembangan bisnis melalui inovasi produk maupun proses, beserta strateginya, bagi 18 perusahaan yang dianalisis oleh mereka. Respon yang diberikan oleh perusahaan sebagai unit analisis sangat memuaskan dan pada umumnya mereka memberikan penghargaan atas hal-hal yang sudah dilakukan oleh mahasiswa.

Canvas ini tentu masih akan diujikan secara lebih luas, sebelum kemudian dapat dinyatakan sebagai alat bantu yang valid bagi perusahaan sebagai strategi mengembangkan aktivitas bisnisnya agar tetap dapat bersaing secara berkelanjutan.

WFH berkelanjutan vs New Normal

Facebook mengumumkan akan memberlakukan opsi WFH secara permanen kepada karyawannya. Keputusan yang sama telah diambil oleh Twitter terlebih dahulu. (https://kumparan.com/kumparantech/ikuti-twitter-facebook-izinkan-karyawan-kerja-dari-rumah-selamanya-1tTgoC5llcu). Keputusan tersebut dengan pertimbangan yang spesifik, yaitu antara lain bahwa aturan tersebut ditujukan bagi karyawan yang berpengalaman dan memiliki kinerja yang baik. Selain itu, faktor karakteristik dan keunikan tugas yang memang bisa dilaksanakan di rumah, adalah hal lain yang memungkinkan kebijakan ini diterapkan.

Sementara itu, pemerintah Indonesia meminta masyarakat bersiap-siap memasuki New Normal mulai bulan Juni yang akan datang. Anda dan saya pasti sudah dibanjiri berbagai informasi, infografik mengenai petunjuk New Normal versi Indonesia yang dikirim melalui wag atau media sosial lainnya.

Menarik untuk mengkaji dua fenomena tersebut, yaitu WFH berkelanjutan atau permanen sebagaimana ditawarkan oleh Facebook dan Twitter, serta New Normal ala Indonesia. Apa manfaat yang bisa diperoleh perusahaan sejalan dengan kebijakan WFH berkelanjutan sebagaimana ditempuh Facebook dan Twitter? Antisipasi apa saja yang diperlukan jika kebijakan ini terpaksa harus diambil oleh perusahaan? Apakah WFH berkelanjutan dapat kita kategorikan sebagai New Normal? Bagaimana memahami New Normal versi Indonesia?

Kebijakan WFH berkelanjutan pada dasarnya dapat memberikan manfaat baik organisasi maupun pegawai. Manfaat yang akan diperoleh perusahaan adalah efisiensi biaya over-head. Serangkain biaya yang biasa digunakan untuk operasional sehari-hari perusahaan mengalami penurunan yang drastis dengan kebijakan ini. Beberapa perusahaan mengalami penghematan biaya juga pada penghematan anggaran untuk mebelair dan space kantor. Ini terutama berlaku bagi perusahaan-perusahaan yang karakteristik pekerjaannya adalah dominan pada jasa. Kondisi berbeda akan dialami oleh perusahaan yang masuk pada kategori manufaktur, dimana produktivitas karyawan sangat ditentukan oleh kehadiran fisik karyawan tersebut. Perusahaan manufaktur masih memungkinkan menerapkan WFH, khususnya pada layanan pendukungnya (akan saya bahas lebih lanjut).

Sementara itu, bagi karyawan kebijakan ini akan membuat pegawai lebih produktif. Andrew Murfett, editor di LinkedIn, menuliskan berdasarkan hasil riset Citrix terbaru, sekitar 70% dari 5000 karyawan yang diteliti menyatakan bahwa produktivitas mereka sama saja atau bahkan meningkat ketika bekerja dari rumah (https://www.linkedin.com/feed/news/workers-we-do-more-at-home-4528147/). Hal yang sama dikemukakan oleh Natasha Boddy, jurnalis di Financial Review, yang menyatakan bahwa pada umumnya orang menjadi tidak terlalu stress dan lebih produktif (https://www.afr.com/work-and-careers/careers/it-s-more-productive-to-work-from-home-20200401-p54fwc). Secara pribadi, saya sendiri berpendapat bahwa sepanjang kita dapat menetapkan jadwal kerja yang paling cocok dengan keseharian kita, serta memiliki area yang nyaman di rumah, bekerja dari rumah atau WFH memang meningkatkan produktivitas kerja. Perspektif dan pendapat saya adalah dari seorang dosen yang bisa jadi sangat berbeda dengan pegawai dengan karakteristik pekerjaan yang berbeda pula. Meskipun demikian, saya meyakini bahwa jika pegawai memiliki tugas dan target yang jelas dan spesifik, dan menetapkan hal-hal yang saya kemukakan sebelumnya, maka sangat memungkinkan WFH akan lebih produktif. Karenanya, menjadi penting bagi perusahaan untuk menetapkan tugas dan target kerja yang jelas dan spesifik bagi karyawan saat menerapkan WFH. Ini akan kita bahas pada poin berikut.

Perusahaan memiliki tanggungjawab untuk menetapkan tugas dan target kerja (key performance indicators – KPI) yang jelas dan spesifik bagi karyawannya ketika kebijakan WFH berkelanjutan menjadi opsi yang dipilih. Namun, sebelumnya perusahaan tentu harus menetapkan bagian mana dari value chain perusahaan yang bisa dan akan dilakukan secara WFH. Hal ini dikarenakan WFH harus merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan value chain perusahaan. Itu sebabnya, perusahaan perlu mengidentifikasi secara seksama value chain-nya; seperti telah saya kemukakan sebelumnya, WFH sangat feasible bagi pekerjaan-pekerjaan dengan karakteristik jasa. Oleh karena itu, supporting activities di value chain perusahaan, seperti aspek pemasaran, keuangan dan atau sumber daya manusia, sangat memungkinkan untuk diberlakukan WFH. Dengan melakukan ini, perusahaan akan mencapai target yang sudah ditetapkan, dan karyawan dapat memenuhi KPI-nya. Pada beberapa perusahaan, pemberian dukungan seperti kuota internet mungkin diperlukan untuk memperlancar WFH. Penghematan yang terjadi dengan rendahnya penggunaan internet di kantor, dapat dialihkan untuk penyediaan fasilitas dukungan ini. Selain itu, perusahaan harus sudah mulai secara serius mengelola ‘fasilitas online‘ nya, yaitu website, jejaring media sosial (facebook fanpage, instagram, twitter, linkedIn) dan lain-lain fasilitas yang memungkinkan terjadi interaksi transaksional dan promosional dengan konsumen. Hal ini dikarenakan, sebelum Covid-19, banyak perusahaan yang berinvestasi di fasilitas online hanya karena ikut-ikutan (latah) sehingga hal tersebut hanya merupakan asesoris. Dengan kebijakan WFH berkelanjutan, fasilitas online menjadi salah satu powerful tools untuk memastikan operasional perusahaan berjalan dengan lancar dalam rangka mencapai visi, misi, tujuan dan sasaran perusahaan.

Dengan memiliki orientasi dan strategi implementasi WFH berkelanjutan yang jelas, yaitu bahwa: (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan value chain; (2) terdapat target KPI yang spesifik; (3) dukungan fasilitas untuk mengakses internet yang memadai bagi karyawan; (4) optimalisasi berbagai fasilitas online perusahaan, maka menurut saya ini adalah New Normal. Sebagaimana Facebook dan Twitter, perusahaan dengan dominan jasa, seperti pendidikan, perbankan, dan atau konsultan, mungkin beberapa kantor pemerintahan, dapat mulai mempertimbangkan untuk implementasi WFH berkelanjutan sebagai New Normal-nya. Demikian pula perusahaan manufaktur khususnya bagian layanan pendukung.

Sementara itu, memahami New Normal a la Indonesia, paling tidak dari dokumen yang diterbitkan oleh Satgas Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 BPOM, maupun Panduan yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI melalui SK Nomor HK.01.07/Menkes/328/2020 adalah upaya pencegahan dan peningkatan kesadaran pada upaya pencegahan tersebut, seperti pelaksanaan protokol kesehatan yang bukan lagi pilihan tapi kewajiban, sampai dengan pembentukan tim penanganan (satgas), dan lain-lain yang sangat mendukung ketika sebagian pegawai perusahaan harus tetap bekerja di kantor. Selain itu, pemerintah pada dasarnya memberlakukan New Normal dengan tujuan untuk menggerakkan roda ekonomi, dengan fokus di 4 Propinsi dan 25 kabupaten/kota, yaitu dengan mengijinkan operasional mall dan obyek wisata. Catatan saya untuk New Normal versi Indonesia adalah bahwa perlu menggerakkan seluruh kekuatan modal sosial yang dimiliki oleh bangsa ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa kita menghadapi kenormalan yang baru. Jika saja program Revolusi Mental yang pernah digadang oleh Presiden Jokowi benar-benar dilaksanakan, saya kira kita tidak akan termasuk pada grafik yang ‘terserah’. Meskipun demikian, mari tetap berharap yang terbaik dan ikut ambil bagian dalam upaya memasuki New Normal (tapi kalau buat saya, tidak termasuk mengunjungi mall :D).

What we can do to maintain employee productivity during Covid-19?

Perusahaan menghadapi tantangan yang berat di masa pandemik Covid-19 ini, terutama setelah beberapa kota besar memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Selain bahwa penjualan mengalami penurunan tajam, ancaman atas produktivitas karyawan juga merupakan hal yang mempengaruhi signifikan. Beberapa perusahaan pada industri spesifik masih bisa mengandalkan sistem penjualan on-line, meskipun volumenya tidak sama dengan disaat normal. Misalnya, industri ritel khususnya supermarket, mengalami peningkatan yang cukup signifikan karena saat ini masyarakat lebih fokus pada kebutuhan sehari-hari.

Sementara itu, beberapa perusahaan di industri manufaktur terpaksa tetap menjalankan pabriknya meski dengan resiko yang tinggi, yaitu sebagian besar karyawannya positif terkena Covid-19. Ibarat memakan buah simalakama, demikian situasi yang dihadapi oleh kalangan dunia usaha saat ini. Oleh karenanya, perusahaan perlu merancang langkah-langkah spesifik dalam rangka mempertahankan produktivitas karyawannya, dan atau memberdayakan karyawan meski mereka sedang melakukan work from home.

Berikut ini tiga gagasan yang bisa dilaksanakan oleh perusahaan dalam mempertahankan produktivitas karyawan.

  • Peningkatan Kompetensi

            Peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan mengadakan kelas on-line oleh para   manager sesuai dengan bidang masing-masing. Dengan demikian, agenda pembelajaran dan kurikulum kompetensi untuk setiap karyawan tetap dapat dijalankan, meski menggunakan media online. Selain mengadakan kelas on-line, peningkatan kompetensi dapat dilakukan juga dalam bentuk diskusi atau rapat dengan topik spesifik, misalnya berkaitan dengan kasus yang mungkin muncul di divisi terkait.

Kegiatan peningkatan kompetensi ini bukan hanya membuat perusahaan konsisten dengan desain pengembangan pegawainya (people development), akan tetapi juga membantu perusahaan mengatasi kasus spesifik yang mungkin muncul di masa yang akan datang. Kegiatan ini akan membuat perusahaan dapat menghemat dalam anggaran pengembangan pegawainya.

  • Perancangan Inovasi

            Pada dasarnya kegiatan peningkatan kompetensi tersebut di atas, berikutnya akan melahirkan ide-ide spektakuler yang merupakan inovasi bagi perusahaan. Dalam rangka mewujudkan inovasi tersebut, perusahaan dapat melanjutkan dengan membentuk tim-tim kecil yang akan mengerjakan proyek inovasi tersebut melalui berbagai diskusi dan pertemuan virtual selama mereka bekerja di rumah. Meskipun dalam situasi tidak normal, proyek tersebut harus dikerjakan secara profesional dan sesuai dengan kadiah standard operating procedure yang berlaku di perusahaan.Apabila kasus sudah teridentifikasi dengan jelas dan spesifik, gagasan inovasi dapat diarahkan oleh perusahaan, misalnya meminta karyawan merancang ‘aplikasi’ sederhana yang berguna secara internal dalam rangka memecahkan dan mengatasi kasus tersebut.

Atas gagasan inovasi dan strategi implementasi yang komprehensif — khususnya dalam rangka mengatasi kasus yang ada —  perusahaan dapat menyediakan sedikit anggaran untuk mengapresiasi gagasan inovasi tersebut.

  • Peningkatan Ikatan (bonding)

            Kegiatan ini sedikit lebih rileks jika dibandingkan dengan dua kegiatan sebelumnya. Meski demikian, kegiatan ini akan membuat karyawan tetap produktif. Kegiatan ini lebih berorientasi sosial karena merupakan sebuah kegiatan untuk meningkatkan ikatan (bonding)diantara pegawai. Secara spesifik, dalam kegiatan ini karyawan diminta untuk merancang dan melaksanakan social online event, misalnya menggalang donasi atau merancang kegiatan sosial yang merupakan bagian dari kegiatan CSR perusahaan. Jika penggalangan donasi telah cukup banyak dilakukan, maka kegiatan yang dapat dilakukan adalah berupa penyiapan makanan untuk kalangan tertentu misalnya masyarakat miskin daerah sekitar perusahaan atau pabrik, atau untuk petugas keamanan yang harus tetap menjaga kantor, termasuk para petugas kepolisian dan unsur masyarakat lainnya. Perusahaan dalam hal ini dapat membentuk tim-tim kecil dimana masing- masing tim akan membagi tugas sesuai dengan keahlian dan kemampuannya dalam menyiapkan paket bantuan tersebut. Jika perusahaan masih bisa menyisihkan dana CSR maka dana tersebut dapat dibagikan ke setiap tim setelah mereka menyampaikan rencana kegiatan dan anggarannya. Melalui kegiatan ini, perusahaan memperoleh manfaat, selain bahwa melalui kegiatan ini perusahan dapat membangun ikatan dengan stakeholdernya, demikian pula karyawan juga secara tidak langsung saling membangun ikatan baik diantara sesama mereka, maupun ikatan dengan perusahaan.

Pada masa seperti sekarang ini, perusahaan tidak punya pilihan selain harus tetap dapat memiliki strategi untuk mempertahankan eksistensinya. Dengan memastikan bahwa karyawan tetap produktif dan memiliki ikatan satu sama lain dan pada perusahaan, maka perusahaan dapat lebih percaya diri untuk kembali ke masa normal seperti sebelumnya. Rancangan ketiga kegiatan tersebut di atas, pada dasarnya juga dapat diimplementasikan ketika perusahaan harus menghadapi situasi ‘new normal’.


%d blogger menyukai ini: