WFH berkelanjutan vs New Normal

Facebook mengumumkan akan memberlakukan opsi WFH secara permanen kepada karyawannya. Keputusan yang sama telah diambil oleh Twitter terlebih dahulu. (https://kumparan.com/kumparantech/ikuti-twitter-facebook-izinkan-karyawan-kerja-dari-rumah-selamanya-1tTgoC5llcu). Keputusan tersebut dengan pertimbangan yang spesifik, yaitu antara lain bahwa aturan tersebut ditujukan bagi karyawan yang berpengalaman dan memiliki kinerja yang baik. Selain itu, faktor karakteristik dan keunikan tugas yang memang bisa dilaksanakan di rumah, adalah hal lain yang memungkinkan kebijakan ini diterapkan.

Sementara itu, pemerintah Indonesia meminta masyarakat bersiap-siap memasuki New Normal mulai bulan Juni yang akan datang. Anda dan saya pasti sudah dibanjiri berbagai informasi, infografik mengenai petunjuk New Normal versi Indonesia yang dikirim melalui wag atau media sosial lainnya.

Menarik untuk mengkaji dua fenomena tersebut, yaitu WFH berkelanjutan atau permanen sebagaimana ditawarkan oleh Facebook dan Twitter, serta New Normal ala Indonesia. Apa manfaat yang bisa diperoleh perusahaan sejalan dengan kebijakan WFH berkelanjutan sebagaimana ditempuh Facebook dan Twitter? Antisipasi apa saja yang diperlukan jika kebijakan ini terpaksa harus diambil oleh perusahaan? Apakah WFH berkelanjutan dapat kita kategorikan sebagai New Normal? Bagaimana memahami New Normal versi Indonesia?

Kebijakan WFH berkelanjutan pada dasarnya dapat memberikan manfaat baik organisasi maupun pegawai. Manfaat yang akan diperoleh perusahaan adalah efisiensi biaya over-head. Serangkain biaya yang biasa digunakan untuk operasional sehari-hari perusahaan mengalami penurunan yang drastis dengan kebijakan ini. Beberapa perusahaan mengalami penghematan biaya juga pada penghematan anggaran untuk mebelair dan space kantor. Ini terutama berlaku bagi perusahaan-perusahaan yang karakteristik pekerjaannya adalah dominan pada jasa. Kondisi berbeda akan dialami oleh perusahaan yang masuk pada kategori manufaktur, dimana produktivitas karyawan sangat ditentukan oleh kehadiran fisik karyawan tersebut. Perusahaan manufaktur masih memungkinkan menerapkan WFH, khususnya pada layanan pendukungnya (akan saya bahas lebih lanjut).

Sementara itu, bagi karyawan kebijakan ini akan membuat pegawai lebih produktif. Andrew Murfett, editor di LinkedIn, menuliskan berdasarkan hasil riset Citrix terbaru, sekitar 70% dari 5000 karyawan yang diteliti menyatakan bahwa produktivitas mereka sama saja atau bahkan meningkat ketika bekerja dari rumah (https://www.linkedin.com/feed/news/workers-we-do-more-at-home-4528147/). Hal yang sama dikemukakan oleh Natasha Boddy, jurnalis di Financial Review, yang menyatakan bahwa pada umumnya orang menjadi tidak terlalu stress dan lebih produktif (https://www.afr.com/work-and-careers/careers/it-s-more-productive-to-work-from-home-20200401-p54fwc). Secara pribadi, saya sendiri berpendapat bahwa sepanjang kita dapat menetapkan jadwal kerja yang paling cocok dengan keseharian kita, serta memiliki area yang nyaman di rumah, bekerja dari rumah atau WFH memang meningkatkan produktivitas kerja. Perspektif dan pendapat saya adalah dari seorang dosen yang bisa jadi sangat berbeda dengan pegawai dengan karakteristik pekerjaan yang berbeda pula. Meskipun demikian, saya meyakini bahwa jika pegawai memiliki tugas dan target yang jelas dan spesifik, dan menetapkan hal-hal yang saya kemukakan sebelumnya, maka sangat memungkinkan WFH akan lebih produktif. Karenanya, menjadi penting bagi perusahaan untuk menetapkan tugas dan target kerja yang jelas dan spesifik bagi karyawan saat menerapkan WFH. Ini akan kita bahas pada poin berikut.

Perusahaan memiliki tanggungjawab untuk menetapkan tugas dan target kerja (key performance indicators – KPI) yang jelas dan spesifik bagi karyawannya ketika kebijakan WFH berkelanjutan menjadi opsi yang dipilih. Namun, sebelumnya perusahaan tentu harus menetapkan bagian mana dari value chain perusahaan yang bisa dan akan dilakukan secara WFH. Hal ini dikarenakan WFH harus merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan value chain perusahaan. Itu sebabnya, perusahaan perlu mengidentifikasi secara seksama value chain-nya; seperti telah saya kemukakan sebelumnya, WFH sangat feasible bagi pekerjaan-pekerjaan dengan karakteristik jasa. Oleh karena itu, supporting activities di value chain perusahaan, seperti aspek pemasaran, keuangan dan atau sumber daya manusia, sangat memungkinkan untuk diberlakukan WFH. Dengan melakukan ini, perusahaan akan mencapai target yang sudah ditetapkan, dan karyawan dapat memenuhi KPI-nya. Pada beberapa perusahaan, pemberian dukungan seperti kuota internet mungkin diperlukan untuk memperlancar WFH. Penghematan yang terjadi dengan rendahnya penggunaan internet di kantor, dapat dialihkan untuk penyediaan fasilitas dukungan ini. Selain itu, perusahaan harus sudah mulai secara serius mengelola ‘fasilitas online‘ nya, yaitu website, jejaring media sosial (facebook fanpage, instagram, twitter, linkedIn) dan lain-lain fasilitas yang memungkinkan terjadi interaksi transaksional dan promosional dengan konsumen. Hal ini dikarenakan, sebelum Covid-19, banyak perusahaan yang berinvestasi di fasilitas online hanya karena ikut-ikutan (latah) sehingga hal tersebut hanya merupakan asesoris. Dengan kebijakan WFH berkelanjutan, fasilitas online menjadi salah satu powerful tools untuk memastikan operasional perusahaan berjalan dengan lancar dalam rangka mencapai visi, misi, tujuan dan sasaran perusahaan.

Dengan memiliki orientasi dan strategi implementasi WFH berkelanjutan yang jelas, yaitu bahwa: (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan value chain; (2) terdapat target KPI yang spesifik; (3) dukungan fasilitas untuk mengakses internet yang memadai bagi karyawan; (4) optimalisasi berbagai fasilitas online perusahaan, maka menurut saya ini adalah New Normal. Sebagaimana Facebook dan Twitter, perusahaan dengan dominan jasa, seperti pendidikan, perbankan, dan atau konsultan, mungkin beberapa kantor pemerintahan, dapat mulai mempertimbangkan untuk implementasi WFH berkelanjutan sebagai New Normal-nya. Demikian pula perusahaan manufaktur khususnya bagian layanan pendukung.

Sementara itu, memahami New Normal a la Indonesia, paling tidak dari dokumen yang diterbitkan oleh Satgas Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 BPOM, maupun Panduan yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI melalui SK Nomor HK.01.07/Menkes/328/2020 adalah upaya pencegahan dan peningkatan kesadaran pada upaya pencegahan tersebut, seperti pelaksanaan protokol kesehatan yang bukan lagi pilihan tapi kewajiban, sampai dengan pembentukan tim penanganan (satgas), dan lain-lain yang sangat mendukung ketika sebagian pegawai perusahaan harus tetap bekerja di kantor. Selain itu, pemerintah pada dasarnya memberlakukan New Normal dengan tujuan untuk menggerakkan roda ekonomi, dengan fokus di 4 Propinsi dan 25 kabupaten/kota, yaitu dengan mengijinkan operasional mall dan obyek wisata. Catatan saya untuk New Normal versi Indonesia adalah bahwa perlu menggerakkan seluruh kekuatan modal sosial yang dimiliki oleh bangsa ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa kita menghadapi kenormalan yang baru. Jika saja program Revolusi Mental yang pernah digadang oleh Presiden Jokowi benar-benar dilaksanakan, saya kira kita tidak akan termasuk pada grafik yang ‘terserah’. Meskipun demikian, mari tetap berharap yang terbaik dan ikut ambil bagian dalam upaya memasuki New Normal (tapi kalau buat saya, tidak termasuk mengunjungi mall :D).

Tinggalkan komentar